Apakah Anak Yang Tidak Di-Aqiqahi Tidak Bisa Memberi Syafa'at Kepada Orang Tuanya

 Apakah Anak Yang Tidak Di-Aqiqahi Tidak Bisa Memberi Syafa'at Kepada Orang Tuanya

Baik, kita akan membahas sedikit tentang Aqiqah. aqiqah merupakan ibadah sunnah yang sangat dianjurkan untuk dilaksanakan bagi orang yang mampu, sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT atas limpahan rizki yang diberikannya, yaitu berupa keturunan. 

Kita telah sepakat ya bahwa keturunan merupakan bentuk rizki, karena dengan berketurunan berarti memiliki potensi investasi masa depan, yaitu mendapatkan kemanfaatan dari doa anak yang sholih, dari ilmu yang dimilikinya pula atau perannya, yang tentu akan turut serta memberikan kemanfaatan bagi kita, orang tuanya. Bahkan anak yang sholih ini merupakan satu diantara 3 hal yang tidak akan terputus pahalanya walaupun kita telah meninggal. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw.

اذا مات ابن ادم انقطع عمله الا من ثلاث، صدقة جارية او علم ينتفع به او ولد صالح يدعوله

Jika manusia telah meninggal, maka terputuslah pahala amalnya kecuali hanya 3 hal, yaitu shodakoh jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atu anak yang sholih yang senantiasa mendoakannya.


Orang tua yang melaksanakan akikah berarti telah ikut menghidupkan sunnah, dan telah membuka ikatan status gadai anaknya. 

Namun bagaimana jika belum sempat melaksanakan akikah sampai tiba waktu meninggal?

Apakah anak berarti tidak bisa memberi syafa'at kepada orang tuanya?

Ini yang tadi ditanyakan penanya ya. 


Pelaksanaan aqiqah didasarkan pada hadits


كل غلام مرتهن بعقيقته )الحديث


“Setiap anak digadaikan pada aqiqahnya” (alhadits). 


Dalam kitab Hasiyah alBujairomy diterangkan bahwa:

Imam Ahmad dan ulama lainnya menafsiri hadits ini bahwa “setiap orang yang tidak mengaqiqahi anaknya, maka anaknya tidak bisa memberi syafaat pada kedua orang tuanya”. Imam alkhathaaby berkata “Bagi orang yang mengharapkan syafaat anaknya hendaknya mengaqiqahinya meski setelah kematian anaknya”. 


Redaksi nya adalah 


{ كُلُّ غُلَامٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ } الْحَدِيثُ ، وَفَسَّرَهُ أَحْمَدُ وَغَيْرُهُ بِأَنَّ مَنْ لَمْ يَعُقَّ عَنْهُ لَمْ يَشْفَعْ لِوَالِدَيْهِ ، وَاسْتَحْسَنَهُ الْخَطَّابِيُّ ؛ فَيَنْبَغِي لِمَنْ يَرْجُو شَفَاعَةَ وَلَدِهِ أَنْ يُعِقَّ عَنْهُ وَلَوْ بَعْدَ مَوْتِهِ وَعَبَّرَ عَنْ عَدَمِ الشَّفَاعَةِ بِالِارْتِهَانِ لِأَنَّ الْمُرْتَهَنَ مَحْبُوسٌ غَالِبًا عِنْدَ رَاهِنِهِ فَلَا يَشْفَعُ ، فَشُبِّهَ مَنْ لَمْ يُعَقَّ عَنْهُ بِمَرْهُونٍ تَعَطَّلَ الِانْتِفَاعُ بِهِ ا هـ مُلَخَّصًا مِنْ شَرْحِ الْعُبَابِ لِابْنِ حَجَرٍ .


“Setiap anak digadaikan pada aqiqahnya” (alhadits). Imam Ahmad dan lainnya menafsiri hadits ini “setiap orang yang tidak mengaqiqahi anaknya tidak bisa memberi syafaat pada kedua orang tuanya”. Imam alkhathaaby menganggapnya Hasan (baik), dia berkata “Bagi orang yang mengharapkan syafaat anaknya hendaknya mengaqiqahinya meski setelah kematian anaknya”. Dikatakan tidak mendapatkan syafaat akan gadaiannya karena umumnya orang yang menggadaikan memang tercegah memanfaatkan barang yang tergadaikan,. Disamakan orang yang tidak mau beraqiqah dengan barang yang digadaikan dalam kesamaan saling tidak dapat mengambil manfaat atas barang yang masih dalam gadaian. [ Hasiyah alBujairomy ‘ala al-Khootib VI/134 ].


Perhatikan Kalimat :

 

مَنْ لَمْ يَعُقَّ عَنْهُ


“Orang yang tidak mau beraqiqah” maksudnya adalah Orang yang tidak mau melakukan aqiqah sedangkan ia sebenarnya mampu . Maka, terancam oleh beberapa hal di atas, yaitu tercegah dari mendapatkan syafaat anaknya. 


Sebelumnya, kami pertegas dulu ya. Ini konteks nya adalah ketika ada orang tua mampu namun tidak kunjung melaksanakan aqiqah untuk anaknya.


Akan tetapi perlu diketahui bahwa kesunnahan akikah bagi orang tua ini akan tetap ada sampai anaknya baligh, sehingga masih tetap ada kesempatan ya. Jika pun ternyata sampai anak baligh orang tua masih belum mengakikahkannya, ini bisa saja ya. Karena memang keadaan seseorang berbeda-beda, entah karena sibuk atau belum sempat. Maka kesunnahan ini berpindah ke anaknya. Kami ulangi lagi, Jika ternyata sampai anak usia baligh orang tua masih belum juga mampu mengakikahkannya, maka disunnahkan bagi anaknya mengakikahi dirinya sendiri. 


keterangan ini bisa di baca di kitab MughnilMuhtaaj


Selanjutnya, Bagaimana jika ternyata dari awal orang tua memang terhitung tidak mampu untuk melaksanakan akikah?


ketika orang tua memang benar-benar tidak mampu, maka ia masuk dalam firman Allah “LAA YUKALLIFU ALLAAHU NAFSAN ILLAA WUS’AHAA” 


Tidak dipaksa, karena memang keadaannya tidak mampu. Namun juga tetap ada masa menanti yaitu sampai masa nifas selesai, yaitu 60 hari. Jika sampai masa itu selesai orang tua tidak juga mampu melaksanakan, maka bagi anak tersebut tidak sunah melakukan aqiqoh sendiri setelah baligh, begitu juga tidak sunah melaksanakan aqiqoh bagi orang tuanya walau mampu kalau mampunya telah melewati paling lamanya masa nifas yaitu 60 hari.



Kesimpulannya adalah,

Satu, ketika ada orang tua mampu tapi tidak kunjung melaksanakan aqiqah sampai ia meninggal maka terancam terhalang dari mendapatkan syafaat anaknya. Maka bagi panjenengan yang mampu jangan ditunda-tunda ya.


Kedua, pelaksanaan aqiqah bagi orang tua yang mampu paling lama adalah sampai anak mencapai usia baligh


Ketiga jika orang tua yang mampu namun belum juga mengakikahkan anaknya sampai melewati masa baligh maka kesunnahan akikah ini berpindah ke anaknya. Artinya anaknya sunnah mengakikahi dirinya sendiri. 


Keempat, jika orang tua yang dari awal memang tidak mampu. Awas saya ulangi, jika orang tua dari awal memang tidak mampu melakukan akikah, maka tidak ada paksaan baginya untuk memaksakan diri dalam pelaksanaan.


Kelima, jika orang tua yang dari awal memang tidak mampu melakukan akikah, ada masa menunggu yaitu sampai selesai masa nifas, selama kurang lebih 60 hari. Jika tetap tidak mampu maka tidak ada kesunnahan akikah bagi anaknya untuk melaksanakan akikah setelah baligh nanti, dan juga tidak ada kesunnahan bagi orang tua untuk melaksanakan jika mampunya melebihi 60 hari.


Wallahu A'lam Bishowaab


Komentar